Tasawuf Psikoterapi

Rabu, 06 April 2011

Neo Sufisme


A. Pendahuluan
Kecenderungan kehidupan yang berlatar belakang falsafah kapitalisme bukan saja menjadikan gaya kehidupan manusia ke arah materialistic-hedonistic tetapi juga menimbulkan rasa terancam dan kekacauan dalam masyarakat. Kehidupan manusia di penuhi kezaliman, kesedihan dan keruntuhan akhlak, seolah-olah tiada lagi harapan dan cinta dalam kehidupan seharian. Berdasarkan hal ini, modernisme dilihat gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia, sehingga keadaan ini telah menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarah spiritualisme Muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spiritual para sufi. Ini karena jalan itu dirasakan amat releven dengan kehidupan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi mengalami suasana realita yang baru yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yang dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat dan rakus. Dengan menempuhi dunia spiritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan. Bagi kelompok ini, realita spiritual yang ditempuh bukanlah sesuatu yang ilusi, tetapi benar-benar suatu realita yang hanya dapat dinikmati sebagai sesuatu pengalaman keagamaan.
Pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang pada akhirnya melembaga menjadi tarekat sebagian besar selalu mempraktekkan sikap uzlah yang bertujuan melakukan pembersihan jiwa dengan cara menjauhi kehidupan dunia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan umat islam menjadi apatis terhadap kehidupan dunia, lupa akan tugas sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat, sehingga yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
Menurut Buya Hamka, hal ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dikarenakan cukup lama menjauhi dunia, ketika hendak berkurban, tidak ada yang hendak dikurbankan, berzakat juga tidak mampu karena tidak ada harta untuk dizakatkan. Ketika manusia lainnya telah maju dalam bidang kehidupan dunia, umat Islam statis karena telah mengambil sikap menjauhi kehidupan dunia.[ Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta : Panji Mas, 2007), h.16]
Menghadapi realitas ini, pada awal abad ke XX, lahir pemikiran baru yang menginginkan tasawuf tidak berpola seperti yang telah diuraikan diatas, dalam pandangan mereka tasawuf harus positif dalam memandang kehidupan dunia, tidak boleh menjauhinya dan justru harus berperan aktif di dalamnya. Gerakan ini mempunyai berbagai istilah seperti Tasauf Modern, Urban Sufisme, Sufisme Kontemporer dan Neo-Sufisme (selanjutnya dalam tulisan ini penulis memakai istilah Neo-Sufisme).
Gejala ini juga bisa dikatakan sebagai pembaharuan dalam dunia sufisme, menurut Azyumardi Azra khusus untuk Indonesia hal ini terjadi akibat berbagai permasalahan agama, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang kompleks.Selain itu keadaan ekonomi yang mapan mendorong umat Islam tidak hanya beribadah namun mengekplorasi pengalaman keagamaan dan spritualitas yang intens dan hanya didapat dari sufisme yang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional (tarekat.pen).[ Martin dan Julia, Urban Sufism, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h. v]
Di sinilah perlu diketengahkan mengenai konsep neo-sufisme karena ide terpenting dari neo-sufisme adalah tawazun atau keseimbangan, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial
B. Sekilas Perjalanan Tasawuf
Menurut para pengkaji, disiplin tasawuf muncul dalam Islam di sekitar abad ke 3 Hijrah atau abad 9 Masehi.[ Muhammad `Ali Sabih, al-Risalah al-Qushayriyyah, (Kaherah: Sharikah Maktabah wa Tatbiqat Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, tt) h. 138.] Ia adalah lanjutan daripada kehidupan keberagamaan yang bersifat zahid dan ‘abid di sekitar serambi Masjid Nabawi pada ketika itu.[ Kebanyakan pengkaji sufisme berpendapat bahawa sufi dan sufisme disamakan dengan sekelompok Muhajirin yang bertempat tinggal di serambi Masjid Nabi di Madinah, dipimpin oleh Abu Dhar al-Ghiffari. Mereka ini menempuh pola hidup yang sangat sederhana, zuhud terhadap dunia dan menghabiskan waktu beribadah kepada Allah S.W.T. Pola kehidupan mereka kemudian dicontoh oleh sebahagian umat Islam yang dalam perkembangan selanjutnya disebutkan tasawuf atau sufisme. ] Fase awal ini disebut sebagai fasa zuhud (asceticism) yang merupakan bibit awal kemunculan sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga kehidupan keseharian lebih tertumpu kepada aspek ibadah dan mengabaikan keasyikan duniawi.
Kondisi ini juga muncul akibat reaksi keras terhadap sikap para fuqaha yang sangat menekankan aspek hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga mengarahkan umatnya pada pemujaan terhadap hukum sebagai ekspresi Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya hukum hanyalah berkaitan dengan laku perbuatan eksternal manusia dari masyarakat. Sehingga pergerakan sufi pada awalnya yang hanya menekankan kepada manusia akan pentingnya furifikasi spritual dan dimensi moral, berubah menjadi metode komunikasi dengan Tuhan bersifat esoterik. Hal ini menjadikan sufisme menjadi semacam “lawan” terhadap kaidah hukum dan fiqh yang begitu formal dan gersang.[ Amin Rais, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta : Rajaprasindo, 1995), h.v]
Bagi Islam memungkinkan pengamalan agama secara eksoterik dan esoterik sekaligus karena Isalam adalah agama universal dan kaffah. Walaupun tekanan yang berlebihan kepada salah satunya akan mengganggu prinsip tawazun dalam Islam yaitu melahirkan ketidakseimbangan, namun pada kenyataannya dalam Islam ini terjadi.[ Nurcholish Madjid, Sufisme dan Masa Depan Agama, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), h.93]
Pada perkembangan sufisme selanjutnya, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan yang harus dilalui oleh seorang sufi yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu iaitu al-ahwal. Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta batasannya sehingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam pada itu juga, muncul para penulis tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan penulis lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan dengan wujudnya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dhawq dan al-kashf. [ Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani , Madkhal ila al-Tasawwuf, (Kaherah: Dar al-Thaqafah, 1974) h. 80-82.]
Sejak kemunculan doktrin al-fana’ dan al-ittihad, maka berlakulah perselisihan faham terhadap tujuan akhir kepada maksud sufisme. Jika pada mulanya sufisme bertujuan suci dan murni yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah S.W.T sehingga dapat ‘berkomunikasi’ denganNya, maka selanjutnya tujuan itu terus berkembang kepada derajat ‘penyatuan diri’ dengan Tuhan. Konsep ini berasaskan kepada paradigma bahwa manusia yang hidup secara biologis merupakan sejenis makhluk yang mampu melakukan satu transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi`raj) spiritual ke alam ketuhanan. Dengan adanya world view terhadap konsep seperti itu, maka muncul pula konflik dalam kalangan para ahli hukum (fuqaha) dan para teologis dengan ahli-ahli sufi. Mereka (fuqaha dan teologis) menuduh ahli-ahli sufi sebagai perusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun apabila dikaji dengan lebih mendalam konflik tersebut bukanlah bersumberkan dari pemikiran sufisme, akan tetapi di sana terdapat unsur-unsur terhadap kepentingan politik dalam diri masing-masing.
Dengan wujudnya kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai Ilahiyah menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rohani selain juga makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia memerlukan hal-hal yang bersifat kebendaan, namun sebagai makhluk rohani ia memerlukan hal-hal yang bersifat kerohanian. Bersesuaian dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek kerohanian, maka manusia itu pada dasarnya cenderung untuk hidup secara bertasawuf atau dengan perkataan lain, bertasawuf merupakan fitrah hidup manusia.
Berdasarkan nilai-nilai yang wujud dalam ajaran tasawuf mengatakan bahawa selagi manusia masih dibelenggu dengan kungkungan jasmani dan kebendaan, maka selagi itulah dia tidak bertemu dengan nilai-nilai rohani yang dicari. Oleh yang demikian, seorang hamba itu perlu berusaha melepaskan roh dari kungkungan jasmaninya. Maka, dia perlu melalui jalan latihan (riyadah) yang memerlukan masa yang cukup lama. Riyadah atau latihan ini juga bertujuan untuk mendidik rohnya supaya sentiasa dalam keadaan suci dan bersih. Ini kerana naluri manusia sentiasa berusaha untuk mencapai yang baik dan sempurna dalam mengharungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan ini, ianya tidak dapat dilalui hanya dengan mempergunakan ilmu pengetahuan sahaja kerana ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan sekiranya bergantung kepada ilmu kebendaan sahaja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanyalah dengan iman yang kukuh dan perasan hidup yang aman bersama Allah S.W.T.
Oleh karena kecenderungan manusia itu ingin selalu berbuat baik bersesuaian dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka segala perbuatan yang menyimpang daripadanya merupakan penyimpangan dan melawan fitrahnya. Secara prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah diciptakan Allah pada diri manusia adalah kehidupan yang hakiki. Sebagaimana yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam arwah sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Berdasarkan ayat di atas, dapatlah difahami bahawa pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah S.W.T. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa Allah itu adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang berlaku terhadap kehidupan manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh persekitaran sama ada baik atau buruk yang berperanan dalam membentuk keperibadian seseorang manusia.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang sentiasa ‘mendambakan’ diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Hal ini karena kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah S.W.T. yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah pula merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia selaku khalifah di muka bumi di mana kejadian asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahawa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan.
C. Lahirnya Neo-Sufisme
Sebagaimana dengan perjalanan tasawuf klasik sebagai cikal bakal neo-sufisme diatas, maka dalam perkembangannya tasawuf terutama pada abad III H, pengaruh eksternal semakin terasa, antara lain dipengaruhi berbagai macam corak budaya. Dampak dari hal ini melahirkan dua corak pemikiran tasawuf, yaitu yang bercorak dengan materi dasarnya bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas, di back up ulama moderat pada satu sisi, sedang pada sisi lain tasawuf yang bercorak dengan materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecendrungan pada materi hubungan manusia dengan Tuhan, diusung oleh para filosof yang terkadang mengemukakan paengalaman ekstasik-fananya dan ucapan-ucapan syatahat ganjil, ditandai banyak pemikiran spekulatif-metafisis, seperti yang sudah diungkapkan diatas, yaitu al-Hulul, Wahdat Al-Wujud atau Al-Ittihad atau lainnya.
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya. Oleh kerana itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat. Tarekat adalah merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.[ Muhammad al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, (Kuwait : Dar al-Bayan, 1970), h. 31]
Usaha rekonsialisasi sufistik ini belum sepenuhnya berhasil untuk mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun usaha Ghazali harus diakui sebagai inspirasi bagi tokoh setelahnya, walaupun Ghazali mempunyai beberapa kelemahan terutama pada karyanya yang tidak berisi etos sosial dimana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingga banyak diantara pengikut al-Ghazali sendiri dan tarekat pasca al-Ghazali menyingkir dari dunia sosial dan berpangku tangan dari dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Tatkala kondisi dan fenomena ini semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri sufisme yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekontruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadarana ini sebagaimana yang diungkapkan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah dan dikembangkan oleh Fazlur Rahman dengan nama Neo-Sufisme atau sufisme baru.[ Fazlur Rahman, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984), h. 79]
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam.[ Ibid, 193-194] Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, [ Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt), h. 222] maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.[ Hamka, Modern…, h.150-174]
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehisupan sosial.
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
Demikianlah, era post-modernisme yang dibelenggu dengan bermacam-macam krisis yang semakin parah dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak masyarakat semakin buruk dan kejahatan semakin banyak. Kebangkitan nilai-nilai keagamaan tidak salah lagi telah menggerakkan kembali upaya menghidupkan karya-karya klasik dengan pendekatan baru termasuklah juga dalam bidang tasawuf. Karya-karya dalam bidang tasawuf yang dihasilkan oleh penulis kontemporari seperti al-Taftazani menunjukkan adanya garis lurus untuk menegaskan kembali bahwa tradisi tasawuf tidak pernah lepas dari akar Islam. Ini menunjukkan bahwa kebangkitan tasawuf kontemporer ditandai dengan pendekatan yang sangat pesat antara spiritualisme tasawuf dengan konsep-konsep Syariah. Tasawuf yang dianut dan dikembangkan oleh sufi kontemporer nampaknya berbeda dari sufisme yang difahami oleh kebanyakan orang selama ini yaitu sufisme yang hampir lepas dari akarnya (Islam), cenderung bersifat memisah atau eksklusif. Menurut mereka, sufisme yang berkembang kebelakangan ini, sebagaimana dinyatakan oleh Akhbar S Ahmed, pasca-modernisme membawa kita kepada kesadaran betapa pentingnya nilai keagamaan dan keperluan terhadap toleransi serta perlunya memahami orang lain yang semuanya terdapat dalam neosufisme.
D. Karakteristik Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah “reformed sufism” yang bermaksud sufisme yang telah diperbaharui.[ Rahman, Islam …, h. 196-205] Sekiranya pada era kecemerlangan sufisme terdahulu aspek yang paling dominan adalah sifat ekstatik-metafisis atau mistis-filosofis, maka dalam sufisme baru ini ianya digantikan dengan prinsip-prinsip Islam ortodoks. Neo-sufisme mengalihkan pusat pengamatan kepada pembinaan semula sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu didapati lebih bersifat individu dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan. Oleh karena itu, karakter keseluruhan neo-sufisme adalah “puritanis dan aktivis”. Tokoh-tokoh atau kumpulan yang paling berperanan dalam reformasi sufisme ini juga merupakan paling bertanggung jawab dalam kristalisasi kebangkitan neo-sufisme. Menurut Fazlur Rahman, kumpulan tersebut adalah kumpulan Ahl al-Hadith.[ Ibid, h. 194] Mereka ini coba untuk menyesuaikan sebanyak mungkin warisan kaum sufi yang dapat diharmonikan dengan Islam orthodox terutamanya motif moral sufisme melalui teknik zikir, muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Berdasarkan hal tersebut, didapati bahwa tujuan neo-sufisme cenderung kepada penekanan yang lebih intensif terhadap memperkukuh iman sesuai dengan prinsip-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama kehidupan ukhrawi.[ Ibid, h. 195] Akibat dari sikap keberagamaan ini menyebabkan wujudnya penyatuan nilai antara kehidupan duniawi dengan nilai kehidupan ukhrawi atau kehidupan yang “terresterial” dengan kehidupan yang kosmologis.
Dalam hal ini, al-Qushashi menyatakan bahawa sufi yang sebenarnya bukanlah yang mengasingkan dirinya dari masyarakat, tetapi sufi yang tetap aktif di tengah kehidupan masyarakat dan melakukan al-’amr bi al-ma’ruf wa nahy `an al- munkar (islah) demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.[ Ahmad al-Qushashi, al-Simt al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt) h. 119-120]
Manakala Sa‘id Ramadan al-Buti pula mengutarakan konsep Ruhaniyyah al-Ijtima`iyyah atau spiritualisme sosial. Beliau merupakan penggerak kepada konsep neo-sufisme ini yang bermarkas di Geneva. Dalam hal ini al-Buti mengecam sikap dan cara hidup seperti yang digambarkan sufi terdahulu yang sangat mementingkan ukhrawi, sehingga tersisih daripada kehidupan masyarakat yang menurutnya itu adalah egois dan pengecut, hanya mementingkan diri sendiri. Sikap hidup yang benar adalah “tawazun” yaitu keseimbangan dalam diri sendiri termasuk dalam kehidupan spiritualnya serta kehidupan duniawi dan ukhrawi.[ Sa`id Ramadan al-Buti, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 ) h. 61.]
Adapun cirri-ciri Neo-Sufisme menurut Ahmad Najib Burhani yaitu :
Tidak mengenal Tarekat
Inklusif dalam memandang aliran tasawuf bahkan agama lain
Tidak mengenal guru atau mursyid apalagi guru rohani
Didominasi kaum terpelajar
Pengikutnya dari kalangan yang bermateri cukup[ Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 13 ]
Berdasarkan beberapa pandangan dan komentar di atas jelas menunjukkan bahawa neo-sufisme berupaya untuk kembali kepada nilai-nilai Islam yang utuh (kaffah) yaitu kehidupan yang seimbang (tawazun) dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak kesemuanya adalah “barang baru”, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang dipraktikkan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kedudukan masa kini. Dengan menukilkan sedikit rumusan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahawa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup secara aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. [ Madjid, Agama … h.15] Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengamalannya yang lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja tetapi yang lebih penting adalah keseimbangan (tawazun).
E. Pandangan Tokoh Tarekat Masa Kini Terhadap Neo-Sufisme
Karena keterbatasan literatur, maka disini penulis hanya dapat menyampaikan pandangan satu tokoh tarekat Samaniyah yaitu Syekh Muda Ahmad Arifin terhadap Neo-Sufisme, walaupun pandangan beliau tidak dapat diartikan merupakan pandangan seluruh tokoh tarekat saat ini, namun kiranya dapat menjadi bahan perbandingan.
Menyikapi Neo-Sufisme, tokoh ini menolak dengan tegas keberadaanya dengan beberapa alasan antara lain yaitu :
Kelahiran dan kebangkitan Neo-Sufisme dikarenakan ekses negatif Neo-Modernisme, sedangkan tasawuf klasik lahir dari Islam itu sendiri. Dengan demikian Neo-Sufisme adalah tempat pelarian dari ekses negatif Neo-Modernisme, dan jika hal ini teratasi dengan sendirinya Neo-Sufisme akan ditinggalkan.
Gagasan Neo-Sufisme lahir dari pemikiran Fazlur Rahman, Nurcolish Madjid dan Hamka yang tidak pernah masuk tarekat dan tidak mempunyai guru rohani yang hakikatnya sangat awam dengan tasawuf, maka sangat diragukan kapasitasnya bila berbicara tentang tasawuf.
Neo-Sufisme tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengatasi problem manusia, bahkan cenderung menjadikan tasawuf sebagai komoditi spiritual sesaat konsumen.
Neo-Sufisme menolak tarekat
Neo-Sufisme menuduh ahli tarekat sebagai orang benci dunia, padahal ahli tarekat tidak menolak dunia, namun tidak mabuk dunia dan menempatkan harta di hati.
———–
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghanimi al-Taftazani, Abu al-Wafa, Madkhal ila al-Tasawwuf, (Kaherah: Dar al-Thaqafah, 1974)
Al-Ghazali, Muhammad, Ihya Ulum al-Din, Jilid II (Beirut : Dar al-Ma’rifah, tt)
__________, Khuluq al-Muslim, (Kuwait : Dar al-Bayan, 1970)
Ali Sabih, Muhammad `, al-Risalah al-Qushayriyyah, (Kaherah: Sharikah Maktabah wa Tatbiqat Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, tt)
al-Qushashi, Ahmad, al-Simt al-Majid, (Haiderabad: Da’irat al-Ma`arif al-Zizamiyyah, tt)
Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota Berpikir Jernih Menemukan Spiritualis Positif, (Jakarta : Serambi, 2001)
Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta : Panji Mas, 2007)
Madjid, Nurcholish, Sufisme dan Masa Depan Agama, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993)
Martin dan Julia, Urban Sufism, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008)
Rahman, Fazlur, Islam, terjemahan oleh Ahsin Muhammad (Jakarta : Pustaka Bandung, 1984)
Rais, Amin, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta : Rajaprasindo, 1995)
Ramadan al-Buti, Sa`id, al-Ruhaniyyah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam, ( Geneva: al-Markaz al-Islam,1965 )

1 komentar:

  1. Harrah's Resort SoCal - Visit the Biloxi Casino
    Harrah's 원주 출장안마 Resort SoCal Harrah's is one of the first 부산광역 출장샵 companies to launch sports betting in the 부산광역 출장안마 U.S., Caesars will 통영 출장샵 operate the casino resort in 충주 출장안마

    BalasHapus