Muraqabah, Membina Akhlaq al-Karimah
I. PENDAHULUAN
Muraqabah merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Karena dengan muraqabah inilah, seseorang dapat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dimanapun ia berada, hingga mampu mengantarkannya pada derajat seorang mukmin sejati. Demikian pula sebaliknya tanpa adanya sikap seperti ini, akan membawa seseorang pada jurang kemaksiatan kepada Allah kendatipun ilmu dan kedudukan yang dimilikinya. Inilah urgensi sikap muraqabah dalam kehidupan muslim dalam membina akhlaq al-karimah.
II. LATAR BELAKANG MASALAH
1. Arti dan Dasar-dasar Muraqabah
2. Sikap Muraqabah Membawa Dampak Positif terhadap Terwujudnya Akhlaq al-Karimah
3. Aplikasinya dalam Kehidupan
4. Contoh-contoh Muraqabah Para Sahabat dan Pejabat Masa Lalu
III. PEMBAHASAN
1. Arti dan Dasar-dasar Muraqabah
Arti Muraqabah;
- Dari segi bahasa, muraqabah terdiri dari kata raqaba yang artinya adalah melihat, menjaga.[1]
- Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.[2]
Menurut Al-Murta’isy An-Naisaburi, muraqabah adalah memelihara rahasia dengan memperhatikan yang ghaib, bersama setiap kejap mata dan lafal perkataan.[3]
Pada intinya, sikap ini mencerminkan keimanan kepada Allah yang besar, hingga menyadari dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, tanpa kebimbangan, bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak-geriknya, setiap langkahnya, setiap pandangannya, setiap pendengarannya, setiap yang terlintas dalam hatinya, bahkan setiap keinginannya yang belum terlintas dalam dirinya. Sehingga dari sifat ini, akan muncul pengalaman yang maksimal dalam beribadah kepada Allah SWT, dimanapun ia berada, atau kapanpun ia beramal dalam kondisi seorang diri, ataupun ketika berada di tengah-tengah keramaian orang.
Dasar-dasar muraqabah;
Jika diperhatikan dalam al-Qur’an, akan dijumpai banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan mengenai sikap muraqabah ini, dalam artian bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik, tingkah laku, guratan-guratan dalam hati dan lain sebagainya. Sebagai contoh Allah berfirman dalam al-Qur’an:
a. Q.S. Al-Baqarah (2):284 (pengetahuan Allah tentang apa yang ada dalam hati kita)
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ…….
Artinya :“……..dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
b. Q.S. al-Hadid (57) : 4 (Kebersamaan Allah dengan diri kita)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya : “…….Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
c. Q.S. al-Baqarah(2) : 30 (Pengetahuan Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui makhluknya)
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ………
Artinya: "………Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Itulah diantara dasar-dasar muraqabah yang terdapat dalam al-Qur’an, dan masih ada surat-surat lain yang berisi tentang pentingnya muraqabah. Adapun dalam hadis juga banyak dijumpai hal-hal yang berkaitan dengan muraqabah, antara lain:
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik guna menghapuskan perbuatan buruk tersebut, serta gaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
2. Sikap Muraqabah Membawa Dampak Positif terhadap Terwujudnya Akhlaq al-Karimah
Pandangan pertama bagi orang yang ber-muraqabah ialah pandangannya pada cita-cita dan gerak, adakah dia itu karena Allah atau karena hawa nafsu? Pandangan kedua, bagi al-muraqabah ketika masuk pada amal pekerjaan. Dan yang demikian itu dengan mencari cara beramal, untuk menunaikan hak Allah padanya. Dan membaguskan niat pada penyempurnaannya.[4]
Jadi pada dasrnya muraqabah tidak terlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan menjauhi larangan-Nya.[5] Sehingga muraqabah membawa dampak positif terhadap terwujudnya akhlaq al-karimah.
Adapun urgensi sifat muraqabah adalah sebagai berikut:
- optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dan mengawasinya.
- Merasa dekat dengan dengan Allah
- Muraqabah merupakan sunnah perintah Rasul
- Di dalam kehidupan, muraqabah membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Karena kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus direalisasikan dalam kehidupan yang sangat berpengaruh dalam diri kita sendiri.
3. Aplikasinya dalam Kehidupan
Tidak sedikit orang mengatakan bahwa pada suatu hari dirinya merasa mantap dan khusyu’ (muraqabah) dalam beribadah dan di lain kesempatan ia merasa resah dan tidak dapat berkonsentrasi dalam beribadah. Muraqabah merupakan salah satu dari ahwal (keadaan) atau suatu kondisi kejiwaan yang diperoleh seseorang karena karunia Allah semata. Artinya tidak ada satu amalan tertentu yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan target tertentu untuk mendapatkan ahwal ini, dengan kata lain bahwa urusan ahwal ini merupakan hak prerogratif Allah. Jadi tidak setiap orang yang melakukan pendekatan dirinya kepada Allah diberikan kondisi kejiwaan yang selalu merasa dekat dengan-Nya. Dan usaha yang dapat dilakukan seseorang untuk melanggengkannya tidak lain adalah dengan meningkatkan dan menjaga kesucian hati. [6]
Aplikasi muraqabah dalam kehidupan adalah senantiasa berbuat baik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain.
4. Contoh-contoh Muraqabah Para Sahabat dan Pejabat Masa Lalu
Suatu hal yang sudah pasti dari adanya sifat muraqabah adalah optimalnya ibadah yang dilakukan seseorang serta jauhnya ia dari kemaksiatan. Karena ia menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi dan melihatnya. Contoh muraqabah para sahabat adalah Abdullah bin Dinar mengemukakan bahwa suatu ketika saya pergi bersama Umar bin Khattab ra, menuju Mekkah. Ketika kami sedang beristirahat, tiba-tiba muncul seorang penggembala menuruni lereng gunung menuju kami. Umar berkata kepada penggembala: “Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada saya.” Ia menjawab, “Tidak, saya ini seorang budak.” Umar menimpali lagi, “Katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya diterkam serigala.” Penggembala mengatakan lagi, “Kalau begitu dimanakah Allah?” mendengar jawaban seperti itu, Umar menangis. Kemudian Umar mengajaknya pergi ke tuannya lalu dimerdekakannya. Umar mengatakan pada penggembala tersebut, “Kamu telah dimerdekakan di dunia oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bias memerdekakanmu di akhirat kelak.” Penggembala ini sangat menyadari bahwa Allah memahami dan mengetahuinya, sehingga ia dapat mengontrol segala perilakunya. Ia takut melakukan perbuatan kemaksiatan, kendatipun hal tersebut sangat memungkinkannya. Karena tiada orang yang akan mengadukannya pada tuannya, jika ia berbohong dan menjual dombanya tersebut. Namun hal tersebut tidak dilakukannya.
Diceritakan bahwa ada bagi sebahagian para syeikh dari golongan ini, seorang murid yang masih pemuda. Syeikh itu memuliakan dan menonjolkan murid tersebut. Lalu sebahagian sahabatnya bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau memuliakan dia ini? dan dia itu masih pemuda dan kami ini orang-orang tua.” Syeikh itu lalu meminta beberapa ekor burung. Dan diberikannya kepada setiap orang dari mereka, seekor burung dan pisau. Dan berkata: “Hendaklah masing-masing kamu menyembelih burungnya pada tempat yang tidak dilihat seseorang.” Dan ia berikan kepada pemuda itu seperti demikian. Dan ia mengatakan kepada pemuda itu seperti yang dikatakannya kepada mereka. Maka masing-masing mereka kembali dengan membawa burungnya yang sudah disembelih. Dan pemuda itu kembali dan burungnya masih hidup dalam tangannya. Lalu Syeikh itu bertanya: “Bagaimana engkau tidak menyembelih sebagaimana disembelih oeh teman-teman engkau?” Pemuda itu menjawab: “Aku tidak mendapati tempat, yang aku tidak dilihat oleh seseorang padanya. Karena Allah melihatku pada setiap tempat.” Maka mereka itu memperoleh yang baik dari pemuda itu akan al-muraqabah ini. Dan mereka berkata: “Benarlah engkau bahwa memuliakannya.” [7]
IV. KESIMPULAN
Bagaimanapun juga, Allah melihat, mendengar, dan mengetahui segala gerak-gerik kita, meskipun kita sendiri mungkin tidak menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, dengan menanamkan sifat muraqabah dalam diri kita, diharapkan mampu meningkatkan kualitas keimanan terhadap Allah dan membina akhlaq al-karimah di dunia dan akhirat.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya, baik dari segi susunan maupun isinya. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan kami dalam menyusun makalah kami mendatang. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989.
Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin 8, Penerjemah Ismail Yakub, Jakarta: C.V. Fauzan. 1979.
Ghazali, Imam, Ihya Ulumuddin 4, Penerjemah Ismail Yakub, Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1988.
Syukur, Amin, Tasawuf Konstektual,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
http://blogminangkabau.wordpress.com /2009/05/06/bersikap-muahadah-mujahadah-muraqabah-muhasabah-dan-muaqabah-dalam -membangun-hari-esok-yang-lebih-baik/
http://rikzamaulan.blogspot.com/2009/muraqabah-sebagai-penyempurna.html
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989, h.145.
[2] http://rikzamaulan.blogspot.com/2009/muraqabah-sebagai-penyempurna.html
[3] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin 8, penerjemah Ismail Yakub, Jakarta: C.V. Fauzan, 1979, h.108.
[4] Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin 4, penerjemah Ismail Yakub, Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1988, h.716-717.
[5] http://blogminangkabau.wordpress.com/2009/05/06/bersikap-muahadah-mujahadah-muraqabah-muhasabah-dan-muaqabah-dalam -membangun-hari-esok-yang-lebih-baik/
[6] Amin Syukur, Tasawuf Konstektual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h.74-75.
[7] Op.Cit, Ihya’ Ulumuddin 8, h.106-107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar