Tasawuf Psikoterapi

Kamis, 07 April 2011

CINTA DAN APLIKASI SOSIALNYA


CINTA DAN APLIKASI SOSIALNYA
I.       Pendahuluan
Menurut kaum sufi cinta adalah kekuatan yang paling aktif dan paling kuat di dunia ini. Cinta selalu mengaktifkan kita. Kita beranggapan bahwa kita adalah pencipta dan penguasa hidup kita, tetapi tindakan kita tidak lain merupakan pertanda kecil dari suatu proses yang besar dan ghaib. Kita mengetahui hanya satu penggalan yang dapat dilihat, sedang sisi yang ghaib sangat sedikit yang kita ketahui seperti anak-anak, kita tidak sadar akan semua kekuatan dan factor yang menjaga kita, menyayangi kita, membimbing kehidupan dan dunia kita[1]


II.    Pembahasan
  1. 1.arti dan dasar-dasar cinta
Dalam pandangan Rumi, cinta itu sebagai dimensi pengalaman rohani, bukan dalam pengertian teoritis sepenuhnya “mengendalikan” keadaan batin dan “Psikologis”. Ia tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman. Sebagaimana halnya seseorang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya, kata-kata tidak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas. Apalagi cinta seorang sufi pada kekasihNya yang tidak melampaui dunia, tapi juga dunia yang akan datang dan segala sesuatu yang terjangkau oleh imajinasi.
            Tuhan adalah mata air cinta, sebagaimana Dia adalah sumber segala yang ada. Para sufi biasanya mengutip ayat berikut ini. Yang berbicara tentang hubungan antara cinta tuhan kepada manusia dan cinta manusia kepadaNya; “Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang dia mencintai mereka dan mereka mencintainya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, dan keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihat di jalanya yang tidak risau oleh celaan orang yang suka mencela” (Qs. al Ma’idah:54).[2]
            Dalam al qur’an juga banyak sekali ayat-ayat menerangkan tentang cinta. Seprti:
Artinya: “ Dan di antara manusia ada orang-orang yang meyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka menciantainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cinya kepada  Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa {pada hari kiamat}. Bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksanya. (QS al Baqarah:165).
            Pada ayat di atas, Allah memulai uraianya dengan berfirman “Diantara manusia ada orang-orang yang berfirman” diantara manusia ada  orang yang meyembah tandingan selain Allah, baik itu berupa pemimpin mereka. Pandangan tandingan-tandingan tersebut adalah ciptaanya. Maksud “menyembah” disini lebih khusus sebagai mencintai yakni taat kepadanya serta berkorban untuknya, layaknya mencintai Allah. [3]  
2. Dasar-dasar Cinta
            Menurut al-Gazali, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta:
1.Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan {ma’rifat} dan pengetahuan
2.Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
3. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal yang pertama di cintai makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Al-Gazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada giliranya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada tuhan yang maha mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup. Orang yang mengenal diri dan tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa ia sesungguhnya  tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada tuhan yang menciptakanya.
b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik    
                        Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia, pada hakekatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang di laksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun ukhrawi.
c.       Cinta kepada setiap keindahan
                        Segala yang indah tentu di sukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan tuhan yang sempurna. Namun keindahan tuhan adalah keindahan rahaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin.[4]

  1. Cinta Illahi Rabi’ah al Adawiyah
Yang dimaksud “cinta illahi” menurut Rabi’ah al Adawiyah mempunyai dua aspek: salah satunya adalah hasrat tuhan kepada mahklukNya, pada aspek lainya cinta tuhan adalah hasrat mahkluk kepada tuhan. Jadi, cinta berada secara kekal sebagai suatu pertukaran, suatu pergiliran antara tuhan dan mahkluk: hasrat yang kuat, kerinduan untuk berbagai derita, perjumpaan yang ada secara abadi dan membatasi wilayah wujud. Baik secara sadar maupun tidak sadar. Cinta yang di gerakkan oleh keindahan mengarah ketuhan saja sebagai objeknya sebab tuhan itu wujud indan yang mencintai keindahan, dan yang dalam penyingkapan diri kepada dirinya telah menghasilkan alam sebagai cermin untuk merenungi bayanganya sendiri, keindahanya sendiri dan kalaupun terurat bahwa” tuhan akan mencintamu” {Qs. Al Imran:29}, karena dia mencintai dirinya dalam dirimu, segala cinta akan terlihat dan akan di juluki “Ilahiah” cinta yang merupakan tiga cara berwujud.
a.       Cinta Ilahiah
Cinta Ilahiah adalah cinta khalik kepada mahluknya diamana dia mencptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya, dan pada sisi lain cinta mahkluk kepada khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali kepada Dia, setelah dia merindukan sebagai tuhan yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan illahi manusia.
    1. Cinta Spritual
Cinta spritual terletak yang senantiasa mencari wujud dimana
bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang di dapeti olehnya bahwa bayangan (citra) itu adalah dia sendiri, inilah dalam diri mahluk, cinta yang tidak mepedulikan, mengarahkan atau menghendaki guna dilakukan bersama-sama oleh sang fadlenya.
    1. Cinta Alami
Yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih “dan sayangnya” kata Ibn Arabi, “seperti inilah kebanyakan orang yang memahami cinta pada masa kini.[5]
3.      Aplikasi Cinta Illahi dalam Kehidupan Seperti cinta kepada sesama mahkluk.
Cinta manusia dapat di bagi menjadi dua:
a.       Cinta sejati atau cinta pada tuhan
b.      Cinta imitasi atau cinta terhadap segala yang selaiNya, tapi dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat semua cinta sesungguhnya adalah cinta kepada tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayangnya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenkan orang memahami yang ada hanyalah tuhan dan cinta untuknya semata.
                     Cinta kepada yang selainya tapi berasal dariNya akan membawa orang kepadaNya, setiap objek keinginan dari orang per orang akan menunjukkan kepalsuanya, dan orang akan mengalihkan cintanya, namun bagaimanapun juga setiap hasrat {cinta} tidak akan menemukan kekasih sejati kecuali setelah kematian, manakala dia sudah terlambat menutup jurang keterpisahan. Bagi seorang sufi, hanya ada satu yang tercinta, dia melihat bahwa semua cinta “palsu” beku dan tidak nyata.
      Segala harapan, hasrat, cinta, dan kasih sayang yang dimiliki orang, beraneka ragam seperti, para ibu dan sahabat, langit, bumi, kebun-kebun, istana-istana dan pekerjaan. Orang suci melihat bahwa semua hasrat terhadap sesuatu dan tuhan adalah tabir. Manakala manusia telah meningglkan dunia ini dan melihat raja tanpa tabir, mereka akan tahu bahwa segala yang ada ini selubung semata dan objek dari hasrat-hasrat mereka itu adalah satu hal.
                     Segala yang ada di dunia, kekayaan, wanita, pakaian dan yang lainya di maksudkan demi sesuatu yang lain. Maka segala sesuatu yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana menuju tuhan, dia yang hanya berhasrat bagi dirinya sendiri. Dia lebih baik dari segala sesuatu lebih mulia dan lebih meyenangkan dari apapun juga.
      Penyebab cinta adalah keindahan {jamal}yang merupakan miliknya tidak ada tindakan memperindah kecuali dari Allah dan tidak ada yang menjadikan indah kecuali Allah.
III.       Kesimpulan
Cinta dalam pandangan para sufi itu sebagai pengalaman Rrohaniah, tidak dapat diterangkan dengan kata-kata, tetapi dapat dipahamai melalui pengalaman, apalagi cintanya seorang sufi pada kekasihnya yang tidak hanya melampaui dunia tapi juga dunia yang akan datang dan segala sesuatu yang terjagkau oleh imajinasi, tuhan adalah sumber dari segala cinta.
            Adapunseseorang yang bener-bener cinta kepada Allah, maka dia harus bener-bener menunjukkan cintanya, dalam arti dia harus melakukan segala apa yang diperintahNya dan menjauhi segala laranganNya, apalagi cinta kepada Allah, Dia adalah raja segala cinta, walaupun kita cinta pada selain Dia tapi kita tetep harus menomersatukan Allah, karena cinta kepada Allahlah cinta yang abadi dan tak akan mati untuk selamanya.

DAFTAR PUSTAKA
·         Kabir Helminski, Hati Yang Bermakrifat, Bandung: Pustaka hidayah, 2002, hal 59.
·         Wiliam C.chittick, Jalan Cibta Sang Sufi, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002. hal 291
·         M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al qur’an, Volume 1, Jakarta : Lemtera hati, 2009, hal 449.
·         Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Yogyakarta, LKIS, 2002, hal 184.



[1] Kabir Helminski, Hati Yang Bermakrifat, Bandung: Pustaka hidayah, 2002, h 59.
[2] Wiliam C.chittick, Jalan Cibta Sang Sufi, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002. h 291.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al qur’an, Volume 1, Jakarta : Lemtera hati, 2009, hal 449.
[5] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Yogyakarta, LKIS, 2002, h 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar