Tasawuf Psikoterapi

Kamis, 07 April 2011

MA’RIFATU AL-KAUN MENUJU MA’RIFATULLAH









MA’RIFATU AL-KAUN MENUJU MA’RIFATULLAH

I. Pendahuluan
Tujuan manusia adalah menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan. Tidak satu pun agama atau aliran mengingkari hal tersebut. Bahkan mereka mengemukakan metode yang khas sebagai jembatan penolong bagi manusia untuk mencapai tujuannya. Sebagai salah satu kelebihan agama Islam membawa rahmatan lil alamin, merupakan agama sosial. Artinya, dalam agama Islam tidak hanya menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban individual, akan tetapi juga mengatur bagaimana hubungan secara sosial. Sehinnga, tercipta masyarakat yang damai, adil, sejahtera dengan menjadikan Tauhid (ma’rifatullah) sebagai asas membangun khoiro ummat.
Untuk itu dalam makalah ini saya akan menjelaskan ma’rifatu al-kaun menuju ma’rifatullah dan aplikasinya.

II. Pembahasan
Sesuai dengan salah satu ajaran tasawuf yakni mahabbah (cinta), manusia harus mencintai lingkungan hidup sebagai perwujudan kecintaan kepada Allah. Mencintai lingkungan hidup berarti memeliharanya dan menjaganya dari kehancuran, tidak malah menghancurkannya.
Sebagai khalifah di bumi, manusia mempunyai tugas kepemimpinan untuk mengurus, memelihara, mengembangkan, mengambil manfaat bagi kesejahteraan manusia sendiri. Tentunya dalam mengemban amanat tersebut manusia tidak boleh bersikap antroposentris, yakni ketika ia memelihara, mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya tidak akan mengarah untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan bersama.
Amanat tersebut akan dapat dilaksanakan dengan baik, manakala manusia telah mengenal Allah (ma’rifatullah), mengenal diri sendiri (ma’rifatu al-nafs), mengenal sesama manusia (ma’rifatu al-nas) dan mengenal alam (ma’rifatu al-lkaun).[1]
Dengan pengetahuan yang pertama yakni ma’rifatullah, merupakan modal awal untuk pengetahuan-pengetahuan sesudahnya, yaitu ma’rifatu al-nafs,  ma’rifatu al-nas dan  ma’rifatu al-lkaun.
Karena dengan mengenal Allah manusia akan terdorong untuk memahami kebesaran-Nya, kemudian mau memperhatikan alam dan lingkungan hidupnya sebagai tanda kebesaran Allah. Sehingga ia sadar untuk menghayati keperluannya dengan mengembangkan lingkungan hidup ini tanpa harus melakukan perusakan. Karena disadarinya perusakan terhadap lingkungan hidup itu sama halnya dengan tidak menghayati akan kebesaran Allah dalam penciptaan mahluk-Nya.
Hubungan manusia (khalifah), alam dan Tuhan dalam sebuah segitiga dimana Tuhan pada titik puncaknya. Dan hal ini akan membuahkan pemanfaatan alam yang teistik, yakni hubungan manusia dengan alam bukan hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, atau antara tuan dan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT.[2]
Seorang khalifah yang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari dalam hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan  yang tidak baik. Dan secara khusus tajalli adalah  ma’rifatullah. Melihat Tuhan dengan mata hati, dengan rasa.
Tajalli sebagai kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang berarti melembaganya nilai-nilai Ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang telah mencapai tingkatan kesempurnaan (insan  kamil). Dan ia dapat merealisasikan segala kemungkinan yang dapat dicapai oleh mahluk manusia yang membawa potensi keilahian.[3]
Insan kamil merupakan kualitas moral yang hidup dan dinamis, tidak menjelma dalam wujud dan figur seseorang, tetapi hanyalah proses penyempurnaan diri, dan tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya semakin sempurna.
Insan kamil membawa misi moral dan intelektual. Dia merupakan jembatan kosmis tempat lewat kehendak Allah, dalam totalitas dan waktu menjadikannya aktual. Dengan dilengkapi akal dan kemampuan, manusia diberi petunjuk melalui wahyu Tuhan. Alam ini baginya adalah wahana ujian. Oleh karena itu manusia memegang tanggung jawab kekhalifahan dan harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu di hadapan Allah SWT.
Manusia demikian ini yang mampu menyerap sifat-sifat Ilahi dan memancarkannya kembali dalam kehidupan antara sesama manusia dan lingkungannya.
Manusia dalam mengenal alam, bukanlah akibat yang dimiliki tetapi akibat anugerah Allah. Dengan demikian berarti insan kamil dalam mengembangkan dan mengelola alam senantiasa bergantung pada hukum-hukum yang terdapat dalam sunnatullah.
Dalam konteks pembahasan ma’rifatulkaun, insan kamil akan melakukan penelitian terhadap alam, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Dengan penelitian ini tentu manusia mengerti dan mengenal alam dengan sebaik-baiknya. Dan dengan pengenalan alam yang baik tersebut, diharapkan manusia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, disamping itu juga dapat menjaga kelestarian alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia pada umumnya.
Insan kamil tidak melakukan pencemaran lingkungan baik di darat, air dan udara sebagaimana jawaban Nabi SAW ketika ditanya oleh sahabatnya tentang dua orang yang dilaknat Allah, maka beliau menyatakan:
اتَّقُوا اللاَّعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِم
”Jauhilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat!” Para sahabat bertanya, ”Apakah dua perbuatan yang mendatangkan laknat itu ya Rasulullah?” Rasulullah saw bersabda, ”Orang yang berak atau kencing di tepi jalan umum atau tempat berteduh manusia. ”(HR. Abu Hurairah).
Nabi melarang kencing dalam air yang menggenang (tidak mengalir). Melihat teks hadis Nabi SAW tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa mengotori tempat-tempat umum baik didarat maupun di air hukumnya haram. Orang yang melakukannya mendapat sanksi dosa dan sanksi sosial.[4]
Menurut Yusuf al Qardhawi, mencintai lingkungan hidup antara lain bertujuan untuk mengambil hikmah dari padanya. Al Qur’an  menggambarkan bahwa alam selalu sujud kepada Allah, sehingga mencintai lingkungan alam akan mendorong manusia untuk juga selalu tunduk kepada Allah. Mengenai hal ini Allah berfirman:
Mengenai hal ini Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الأرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا                                            لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاء                             “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barang siapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Hajj/ 22:18).
Pada ayat yang lain Allah menjelaskan:
 تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورً                                                                                         
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Isra’/ 17: 44).
Selain dapat mendatangkan hikmah pada manusia untuk selalu taat kepada Allah lingkungan hidup juga merupakan bukti kebesaran Allah, sehingga manusia harus senantiasa berpikir  dan bertafakkur untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan demikian lingkungan hidup diciptakan untuk dijadikan sebagai bahan renungan dan i’tibar bagi manusia.
Lingkungan hidup juga dijelaskan oleh Allah sebagai nikmat yang seyogyanya disyukuri oleh manusia, sehingga lingkungan harus dipelihara, bukan untuk dirusak. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ                                     
 “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”  (QS. Luqman/ 31: 20).
Menikmati manfaat yang disediakan oleh lingkungan hidup adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena alam ini adalah ciptaan-Nya dan manusia tidak boleh mengingkarinya. Hal ini perlu ditegaskan karena banyak orang yang telah memperoleh nikmat malah lupa bersyukur kepada Allah.
Namun pemanfaatan lingkungan hidup atau sumberdaya alam harus dilakukan secara wajar dan tidak boleh berlebihan. Karena pemanfaatan lingkungan secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan, yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Misalnya pembabatan hutan untuk berbagai keperluan, seperti pemukiman, pertanian atau perkebunan. Hal ini mengakibatkan hilangnya daerah resapan air, sehingga menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Berlaku wajar dalam memanfaatkan lingkungan hidup juga merupakan wujud kecintaan kita kepada karunia Allah tersebut. Selanjutnya kecintaan itu mendorong kita untuk lebih bersyukur kepada Tuhan yang menyediakan segala keperluan dari lingkungan hidup, sehingga manusia dapat makmur, sehat dan bahagia.[5]

III. Kesimpulan
Dalam mengemban amanat sebagai wakil Allah di bumi, manusia telah dibekali dengan berbagai potensi. Untuk itu marilah kita gunakan sebaik mungkin, sehingga terealisasi keseimbangan hidup baik secara vertikal maupun secara horisontal.
 Dengan pengetahuan yang pertama yakni ma’rifatullah, merupakan modal awal untuk pengetahuan-pengetahuan sesudahnya, yaitu ma’rifatu al-nafs,  ma’rifatu al-nas dan  ma’rifatu al-lkaun. Tentunya Ma’rifatullah hanya dianugerahkan secara khusus, oleh karena itu tidak akan diperoleh tanpa mujahadah.



IV. Penutup
Demikian uraian makalah ini, semoga bermanfaat.

V. Daftar Pustaka
Syukur, Amin,  Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syukur, Amin, Fatimah Usman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati, Semarang:  CV. Bima Sejati, 2006.
Syukur, Amin, Tasawuf Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003.


[1]Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 157.


[2]Ibid, h. 155.


[3] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 183.


[4] Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil Paket Pelatihan Seni Menata Hati, Semarang: CV. Bima Sejati, 2006, h. 72.


[5] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, Bogor: Kencana, 2003, h. 93.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar