Tasawuf Psikoterapi

Rabu, 13 April 2011

GANGUAN MAKAN (NERVOSA DISORDER)


I.         Pendahuluan
Gangguan makan diakibatkan mereka yang terobsesi dengan berat badan dan bermaksud untuk mencapai citra tubuh yang ideal. Ada juga yang memiliki siklus dimana mereka makan banyak dan kemudian berkenginan untuk menghilangkan kelebihan makan mereka, misalnya dengan memuntahkannya. Pola yang disfungsional ini adalah 2 tipe utama dari ganguan makan, yaitu aneroksia nervosa dan bulimia nervosa. Selain itu ada pula ganguan makan berlebihan yaitu suatu ganguan yang memiliki karakteristik makan berlebihan yang berulang tanpa memuntahkannya; atau yang bisa disebut dengan binge serta kelebihan lemak tubuh (obesitas). Gangguan sering disertai dengan berbagai bentuk psikologi. Termasuk depresi, ganguan kecemasan dan ganguan penyalahgunaan zat.


II.      Pokok Permasalahan
1.         Perkembangan Gangguan Makan;
2.         Tipe Gangguan Makan;
3.         Penyebab gangguan makan;
4.         Penanganan untuk gangguan makan.

III.   Pembahasan
1.    Perkembangan Gangguan Makan
Banyak studi diberbagai Negara yang menunujukkan bahwa gangguan makan adalah masalah yang meluas dimana-dimana tetutama di Negara maju. Gangguan ini meningkat tajam di Negara-negara barat dari tahun 1960 sampai 1995 (Hoek, 2002). Peningkatan gangguan makan tentu cukup memusingkan bila terjadi dalam populasi secara keseluruhan-yang membuat gangguan-gangguan ini lebih menarik adalah karena mereka cenderung spesifik secara kultural. Dulu ganguan makan tidak ditemukan di Negara-negara sedang berkembang, dimana akses untuk mendapatkan makanan yang cukup pun masih merupakan perjuangan-perjuangan sehari-hari bagi sebgaian besar penduduknya. Namun sekarang situasinya berbeda, bukti-bukti menunujukkan bahwa gangguan makan semakin mendunia. Tidak hanya Amerika saja namun diikuti oleh Jepang dan Hongkong.
Gangguan makan cenderung terjadi pada segmen yang relative kecil dalam populasi lebih dari 90% kasus berat menimpa perempuan muda, kebanyakan dari keluarga kelas menengah-keatas, yang hidup di lingkungan yang kompetitif secara social. Jumlah penderita anoreksia dan bulimia pada pria sekitar sepersepuluh jumlah wanitanya (APA, 2000). Kira-kira 0,5% (1:200) wanita dilingkungan kita mengidap anoreksia nervosa (APA, 2000). Penderita bulimia nervosa dikalangan wanita diperkirakan berkisar antara 1% dan 3% (APA, 200) sedangkan penelitian menunjukkan bahwa 65% orang dewasa di AS mengalami kelebihan berat badan dan lebih dari 30 % memnuhi kriteria obesitas.[1]

2.    Tipe Gangguan Makan
a.    Anoreksia Nervosa
Anoreksia (anorexia) berasal dari bahasa yunani an-, yang artinya “tanpa”, dan orexis, artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memilki arti “ tidak memilki hasrat untuk (makanan)”, yang sesungguhnya keliru, karena kehilangan nafsu makan diantara penderita anoreksia nervosa jarang terjadi. Namun demikian, penderita mungkin menolak makan lebih dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan berat badan minimal sesuai tinggi badan dan usia mereka. Sering terjadi, mereka melaparkan diri hingga mencapai suatu titik yang membahayakan.
Aneroksia nervosa berkembang pada tahap remaja awal dan akhir, antara usia 12 dan 18 tahun, namun kemunculan pada usia yang lebih awal atau lebih tua juga terkadang ditemukan.
Karakteristik diagnostic untuk Anoreksia Nervosa:
·         Menolak untuk mempertahankan berat badan pada atau diatas berat badan minimal yang normal sesuai dengan usia dan tinggi seseorang; misalnya, berat badan 15% di bawah normal.
·         Ketakutan yang kuat terhadap penambahan berat badan atau menjadi gemuk, meskipun tubuhya kurus.
·         Citra tubuh yang terdistorsi dimana tubuh seseorang atau bagian tubuh seseorang dipandang sebagai gemuk, walaupun orang lain memandang orang tersebut kurus.
·         Dalam kasus wanita yang telah mengalami menstruasi, terjadi ketidakhadiran tiga atau lebih periode menstruasi.
Ada dua Subtipe umum dari anoreksia, yaitu tipe makan berlebihan/membersihkan dan tipe menahan.
Komplikasi medis dari anoreksia, anoreksia dapat mengakibatkan komplikasi medis yang serius yang dalam kasus ekstrem dapat berakibat fatal. Seperti anemia, sakit pada perut, menstruasi tidak teratur bahkan kematian. 
b.    Bulimia Nervosa
Bulimia barasal dari bahasa yunani bous, yang artinya “sapi” atau “kerbau” dan limos, yang artinya “ rasa lapar”. Gambaran tidak indah yang terinspirasi dari arti istilah tersebut adalah makan yang terus-menerus, seperti sapi yang memamah biak. Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang memilki karakteristik episode yang berulang untuk menelan makanan dalam jumlah besar, diikuti dengan cara-cara yang tidak tepat untuk mencegah pertambahan berat badan, misalnya dengan memuntahkannya.
Bulimia terjadi pada usia rata-rata remaja akhir, bisaanya mempengaruhi wanita berkulit putih pada remaja akhir atau awal dewasa.
Karakteristik diagnostic bulimia nervosa antara lain :
·      Episode berulang dari makan berlebihan ssepeti yag ditunjukan oleh kedua hal berikut ini:
Ø Memakan makanan dalam umlah yang sangat luar bisaa selama periode 2 jam, dan
Ø Merasa kehilangan control terhadap pemasukan makanan padasaat episode tersebut.
·      Perilaku tidak sesuai yang sering terjadi untuk menjaga agar berat tubuh tidak bertambah seperti membangkitkan rasa ingin muntah, penyalahgunaan obat pencahar, diuretic atau enema dengan berpuasa atau latihan berlebihan.
·      Rata-rata minimal dalam seminggu terjadi dua episode makan berlebihan dan perilaku kompensasi yang tidak sesuai untuk menghindari bertamahnya berat badan, dan hal ini terjadi minimal selama 3 bulan.
·      Perahtian berlebihan yang terus menerus pada bentuk dan berat badan.
Episode makan berlebihan lalu memuntahkannya dapat menghasilkan komplikasi medis yang serius.  
c.    Binge dan Obesitas
Gangguan makan berlebihan (binge-eating disorder/BED) suatu gangguan yang berulang memilki karakteristik makan berlebihan yang berulang tanpa memuntahkannya. BED diklasifikasikan dalam manual DSM sebagai gangguan  potensial yang masih membutuhkan studi lebih lanjut.
BED cenderung berusia lebih tua dari pada penderita anoreksia dan bulimia. Seperti gangguan makanan lainnya, kondisi ini lebih banyak ditemukan pada wanita.
Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis gangguan ini juga membutuhkan evaluasi lebih jauh lagi.
·         Menunjukan kondisi makan berlebihan setidaknya 2 hari dalam seminggu selama 3 bulan (stotland, 2000).
·         Selama decade makan berlebihan, mereka akan terus makan meskipun sudah merasa kenyang.
·         Penderita merasa malu bila terlihat saat makan berlebihan dan merasa bersalah sesudahnya.
Obesitas suatu kondisi kelebihan lemak tubuh, bisaanya ditentukan oleh IMT diatas 30.

3.    Penyebab gangguan makan
Hampir sama dengan jenis gangguan-gangguan yang lain, pada gangguan makan ini juga banyak sebab yang melatarbelakangi gangguan ini. Akan tetapi ada faktor yang paling dominant, yaitu faktor social dan kultural.[2]
1)      Faktor Sosiokultural
Yang menjadi pertanyaan kami, mengapa para pemuda bisa masuk kedalam rutinitas Purging yang bersifat menghukum dan membahayakan jiwa itu? Para perempuan barat, tampak lebih hebat itu lebih penting dari pada tubuh yang sehat. Untuk wanita yang hidup pada taraf kelas menengah ke atas, harga diri, kebahagiaan, kesuksesan banyak dipengaruhi oleh ukuran tubuh.
Imperatif kultural untuk kelansingan tubuh secara lansung menghasilkan tindakan diet, itu merupakan langkah berbahaya yang membawa orang tergelincir masuk kedalam anoreksia dan bulimia (gangguan makan).
Para Teoritikus sosiokultural lebih menitikberatkan pada faktor sosial dan harapan dari masyarakat pada wanita muda sebagai kontributor terhadap terhadap gangguan makan (Bemporad, 1996; stice, 1994). tekanan untuk mencapai standart kurus yang tidak realistis, dikombimasikan dengan pentingnya faktor penampilan dapat menyebabkan menjadi tidak puas dengan tubuh mereka sendiri (Stice, 2001). ketidakpuasan tubuh pada wanita dapat menjadi penyebab dari diet yang berlebihan dan perkembangan perilaku makan yang terganggu.[3]
2)      Faktor Psikologi
Meskipun budaya untuk ikut bertubuh kurus pada kaum wanita memainkan peran utama bagi terjadinya gangguan makan, mayoritas para wanita yang mendapatkan tekanan ini tidak mengalami gangguan  makan. Ada faktor-faktor lain yang terlibat. Faktor yang paling sering dihubungkan dengan bulimia adalah setidaknya ada riwayat diet yang kaku (Patton dkk 1999). wanita dengan bulimia bisaanya melakukan diet yang ekstrem yang ditandai dengan ketatnya aturan tentang apa yang mereka makan, berapa banyak yang bisa mereka makan, dan berapa sering mereka boleh makan (Drewnowski dkk, 1994). tidak mengherankan bila mereka lebih memikirkan berat badan daripada wanita yang tidak menderita bulimia (Zotter dan Crowther 1991). Dalam keadaa ini menjadi rantai reaksi dimana dengan makan berlebihan menyebabkan ketakutan akan bertambahnya berat badan, sehingga memicu keinginan untuk memuntahkanya atau melakukan latihan fisik yang berlebihan guna mengurangi berat badan.
Ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri adalah faktor penting lainnya dalam gangguan makan (Heatherton dkk, 1997). Ketidakpusan terhadap tubuh dapat mengasilkan usaha-usaha yang maladaptif  (dengan melaparkan diri dan memuntahkan) untuk mencapai berat badan dan tubuh yang diinginkan.[4]
3)      Faktor Biologis
Para ilmuan menduga bahwa terdapat ketidaknormalan dalam mekanisme otak yang mengatur rasa lapar dan kenyang pada penderita bulimia, kemungkinan terbesar berkaitan dengan serotonin kimiawi otak (Goode, 2000). Serotonin memainkan peran penting dalam pengaturan mood dan nafsu makan, terutama selera terhadap karbohidrat. Rendahnya serotonin, atau kurangnya sensitivitas dari sensor serotonin otak, dapat menyebabkan munculnya episode makan berlebihan, terutama karbihidrat (Levitan dkk., 1997). Pemikiran ini didukung bahwa antidepresan, seperti prozac, yang meningkatkan aktivitas serotonin, dapat menurunkan episode makan berlebihan pada wanita pengidap bulimia (Jimerson dkk, 1997).
Disamping itu, terdapat pula bebrapa petunjuk adanya peran faktor genetic pada gangguan makan (Wade dkk., 2000). Bukti kuat dating dari penelitian terhadap 2000 wanita kembar, dimana terdapat prevalensi bulimia yang lebih tinggi, yaitu 23 % berbanding 9 %, terdapat pada pasangan kembar satu telur dibanding kembar dua telur (Kendler dkk, 1991).
4)      Faktor Keluarga
Konflik dalam keluarga sering kali menjadi penyebab dalam gangguan makan (Fairburn dkk., 1997). Beberapa teoritikus berfokus pada efek brutal dari self-starvation terhadap orang tua. Mereka mengatakan bahwa beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara menghukum orang tuamereka karena perasaan kesepian dan keterasingan yang mereka rasakan di rumah.
5)      Faktor Sel Lemak
Berbeda dengan Nervosa atau bulimia, faktor disini adalah salah satu faktor obesitas. Terkadang bagi orang-orang obesitas ketika ingin menurunkan berat badan (kegemukan) dan mempertahankan profil langsing dpat dirusak oleh sel-sel dalam tubuh mereka sendiri yang dinamakan sel lemak (fat cells). Sel lemak adalah sel yang menyimpan lemak. Sel lemak berisi jaringan lemak dalam tubuh yang disebut adipose. Orang-orang obesitas memiliki lebih banyak sel lemak dari pada orang yang tidak memiliki obesitas. Kaitannya dengan obesitas adalah ketika kita selesai makan, tingkat gula darah menurun, mendorong lemak dari sel-sel ini untuk mengedarkan lebih banyak makanan pada tubuh. Hipotalamus pada otak mendeteksi pengisongan lemak pada sel ini. Hipotalamus kemudian memberi tanda pada korteks selebral, memicu dorongan rasa lapar yang memotivasi makan kemudian mengisi kembali sel lemak.[5]

4.    Penanganan Untuk Gangguan Makan
Banyak pendapat bahwa gangguan makan itu sulit ditangani. Bahkan kebanyakan orang yang mengidap anoreksia nervosa dapat dirwat di rumah sakit, terutama ketika terjadi penurunan berat badan secara drastis.
Terapi psikodinamika terkdang dikombinasikan dengan terapi prilaku untuk menggali lebih dalam konflik psikilogis yang ada. Terapi keluarga juga sangat membantu mengatasi konflik keluarga yang mendasari.
Terapi kognitif-behavioral (Cognitive behavioral therapy/CBT), berguna dalam membantu penderita bulimia untuk mengatasi pikiran dan keyakinan yang self-defeating, seperti pemikiran yang tidak realistis dan perfeksionis mengenai diet dan berat bedan.
Pola pemikiran disfungsional lain yang juga umum adalah pemikiran dikotomis (semua atau tidak sama sekali) yeng menadikan alasan mereka mengeluarkan makanan ketika gagal, walaupun sedikit, melakukan diet ketat. CBT juga memaparkan kecenderungan penderita untuk menitik beratkan penampilan sebagai penentu self-worth. Untuk menghilangkan kebisaaan memuntahkan diri, terapis dapat menggunakan tehnik behavioral yaitu pemaparan terhadap pencegahan respon yang dikembangkan utuk penanganan gangguan obsesif-kompulsif.
Bentuk terapi lain, seperti terapi interpersonal (interpersonal therapy/IPT), juga terbukti efektif dalam penanganan bulimia. Terapi ini menekankan pada penyelesaian masalah interpersonal dengan keyakinan bahwa fungsi interpersonal yang semakin efektif akan menghasilkan kebisaaan dan sikap makan yang lebih sehat.
Obat antidepresian juga memberikan manfaat terapiutik dalam menangani bulimia (Goode, 2000). Obat-obatan itu juga dipercaya efektif untuk menurunkan keinginan makan berlebihan dengan menormalkan serotonin-unsur kimia dalam otak yang terlibat dalam pengaturan nafsu makan.

IV.   Penutup
Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari masih terdapat berbagai kekurangan di dalamnya, baik dari segi susunan maupun isinya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari anda sekalian sebagai bahan pertimbangan kami dalam menyusun makalah kami di kemudian hari.


DAFTAR PUSTAKA

V.Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2007
Jeffrey s. Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, Psikologi Abnormal, Edisi ke-V, jilid II, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005


[1] V.Mark Durand dan David H. Barlow, Intisari Psikologi Abnormal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2007, hlm. 2-3
[2] Ibid, hlm. 15
[3] Jeffrey s. Nevid, Spencer A. Rathus dan Beverly Greene, Psikologi Abnormal, Edisi ke-V, jilid II, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005, hlm. 48.
[4] Ibid, hlm. 49
[5] Ibid, hlm. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar